Langsung ke konten utama

KONSEP RELATIVITAS

Pendekatan Emik dan Pendekatan Etik Terhadap Fenomena Budaya

    Satu di antara sasaran utama etnografi-baru ialah eliminasi atau setidaknya netralisasi bias yang berpotensi menimbulkan kesenjangan di pihak etnograf. Premisnya sederhana : jika orang hanya merekam wawasan warga budaya tertentu mengenai budayanya dan tidak mencatat persepsi serta tafsir etnograf tentang budaya tersebut, orang akan memperoleh “barang yang sesungguhnya” sebagaimana terdapat dalam pandangan, penghayatan, serta pemahaman para warga suatu budaya tertentu. Akan tetapi upaya untuk sepenuhnya melenyapkan pengkondisian, prakonsepsi, dan bias di pihak etnograf itu hampir sama artinya dengan upaya menciptakan mesin yang bergerak tanpa istirahat. Hal-hal tersebut merupakan konsepsi etnograf mengenai kemungkinan konsepsi informannya. Akan tetapi karena inferensi itu harus dituangkan dalam sesuatu bentuk yang dapat dipahami tidak hanya oleh etnografnya sendiri melainkan juga oleh para sejawatnya, maka si etnograf harus menggunakan katagori pemikiran yang berpijak pada antropologi dan tidak hanya pada informan warga pribumi yang bersangkutan saja. Sehingga, kita semua adalah komparativis. Dengan demikian, cara untuk menjadikan pelaporan etnografis semakin replikabel yaitu berusaha mengeksplisitkan sejauh mungkin preferensi teoritis, bias kultural, dan peran aktif si etnograf.
    Tujuan pemberian etnografis adalah penciptaan-ulang realitas kultural “dari titik pandang warga-budaya setempat”. Apabila suatu dialek dikesampingkan, satu, dua, atau tiga informan mungkin sudah memadai. artinya, mereka semua sama-sama merupakan pendukung bahasa tersebut. Akan tetapi semua individu yang membentuk suatu budaya tidaklah mengambil bagian atau berperan dalam budayanya. Ini berarti “realitas kultural” mungkin dapat berbeda-beda bagi pemimpin/ pemuka dan bagi warga biasa. Tetapi tidak berarti para partisipan tidak mampu bertindak secara kooperatif, komplementer, atau dengan partisipasi yang memadai terhadap peran mereka dalam sistem budaya yang bersangkutan.
    Pada sisi positifnya, para penganut etnografi-baru mengingatkan agar tidak meningggalkan suatu premis dasar antropologi, yaitu bahwa semua bangsa atau masyarakat tidaklah menata dan mengklasifikasikan semesta sosial serta alaminya dengan cara yang tepat sama. Para etnograf-baru telah mengasah kita bahwa ragam pembedaan konseptual dalam bagan kognisi atau dalam budaya kita sendiri tidak boleh diterapkan begitu saja dalam mengamati budaya lain. Hal ini sangat penting, tetapi jangan ditekan secara berlebihan sehingga merugikan atau menghambat pertumbuhan antropologi sebagai suatu disiplin ilmu.
    Suatu kategori kognitif warga-budaya setempat membaur dalam budaya itu. Sebagian besar kategori-kategori itu, misalnya bahasa yang digunakan suatu masyarakat atau bangsa tertentu dipergunakan tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Sedangkan kategori kognitif seorang antropolog dirancang untuk kegunaan lain: tidak untuk memproduksikan “realitas kultural” melainkan untuk menjadikan realitas itu dapat dipahami dalam suatu bingkai perbandingan. Dengan demikian, maksud dan kegunaan pelaksanaan penelitianlah yang akan menentukan apakah suatu pembahasan etnografis akan diungkapkan dalam “kategori warga budaya setempat” (emik), atau menurut “kategori antropolog” (etik), atau dalam semacam kombinasi antara keduanya sangat sering terjadi.
    Menurut Levi-Strauss maupun para etnograf, dalam model-model linguistik sangat mengandalkan analogi linguistik. Mereka memandang bahasa sebagai tatanan bahasa-logika (logical grammar), sebagai suatu kode, atau sebagai seperangkat aturan struktural untuk menindakkan perilaku yang secara kultural tepat. Apabila diterapkan, model linguistik ini dapat membuahkan banyak hasil, dan juga penuh daya-saran dalam menangani jenis-jenis masalah tertentu. Akan tetapi jika kita akhirnya memandang budaya sebagai kode atau aturan kognitif serta kategori, kita berhadapan dengan jenis kesulitan yang sama dengan kesulitan untuk menjelaskan sesuatu ketika budaya dipandang sebagai sistem norma atau nilai.
    Dalam hal ini muncul kritik tajam yaitu tidak menganjurkan antropolog membuang model linguistik dalam mengkaji budaya. Apabila mereka yang menggunakan model tersebut harus senantiasa ingat bahwa analogi linguistik ini mempunyai keterbatasan tertentu. dalam perkara tertentu analogi mungkin penuh daya saran; dalam perkara lain, mungkin justru menghambat penanganan ihwal dan pokok pembicaraan yang sejauh ini selalu menjadi perhatian sentral dalam antropologi.

Kritik terhadap Relativisme

    Dalam relativisme terdapat perbandingan atau komparasi sehingga dibedakan yang disebut sebagai tesis ideologis, dengan tesis metodologis-nya. Sebagai tesis ideologis, relativisme menyatakan bahwa setiap budaya merupakan konfigurasi unik yang memiliki citra khas dan gaya serta kemampuan tersendiri.
    Kaum relativis menyatakan, suatu budaya harus diamati sebagai suatu kebulatan tunggal, dan hanya sebagai dirinya sendiri. Sedangkan komparativis mengatakan bahwa suatu institusi, proses, kompleks, haruslah di lepas dari matriks budaya yang lebih besar dengan cara tertentu sehingga dapat dibandingkan dengan institusi, proses, kompleks lain. Relativis yang ekstrem beranggapan bahwa tidak ada budaya pun yang sama; bahwa pola, tatanan dan makna akan terperkosa jika elemen-elemen diabstraksikan demi pembandingan.
    Ttik temu kedua pandangan tersebut yaitu pada pada pasal tidak diizinkannya pemerkosaan. Terutama soal ideologi, minat dan tekanan yang menimbulkan keragaman pendekatan metodologis. Komparativis dan relativis sama-sama mengetahui bahwa tidak ada dua budaya pun yang persis sama. Bagi relativis, tiap budaya jelas-jelas terbukti unik. Sedangkan bagi komparativis, keunikan yang jelas terbukti pada sesuatu atau setiap budaya itu mungkin tertutup oleh kesamaan yang jelas terbukti pula antara bagian-bagian suatu budaya dengan bagian-bagian dari budaya lain.
    Relativisme berguna sebagai peringatan untuk kita bahwa dalam mempelajari budaya yang berbeda dengan budaya kita, sebaiknya harus kita usahakan supaya kita tidak terpengaruh oleh prakonsepsi kebudayaan kita sendiri. Apabila relativisme kita pandang demikian, ia menjadi pegangan metodologis dan bukan posisi ideologis. Meskipun ada perbedaan di kalangan antropolog dalam versi ideologis mengenai relativitas, semua antropolog menerima versi metodologisnya. Apabila sikap relativistik dikukuhkan secara konsisten dan tak tergantikan, seluruh upaya antropologi akan tergerogoti dari dalam. Relevansi lintas budaya (cross-cultural) dengan sendirinya akan hancur, padahal relevansi semacam itu terdapat dalam seluruh pengetahuan antropologis yang terhimpun hingga kini.
    Antropologi harus mengatasi ekses relativisme, justru karena ekses itu menyulitkan atau bahkan memustahilkan perbandingan sehingga memustahilkan perbandingan sehingga memustahilkan pemeriksaan itu pula.
    Perbandingan atau komparasi bukan hanya merupakan sarana untuk mengajukan pernyataan yang lebih umum mengenai satu-satunya sarana pengujian proposisi umum bilamana tidak ada peluang untuk bereksperimen. Logika metode komparasi tidak sulit diikuti. Dengan demikian, hanya melalui perbandingan kita memperoleh peluang menyaring yang umum dari yang khusus, atau menetapkan hubungan sebab-akibat yang “masuk akal”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI RESIPROSITAS

Dewasa ini banyak ahli antropologi ekonomi yang menaruh perhatian terhadap gejala pertukaran yang menggunakan uang. Perhatian seperti ini sangat penting sejalan dengan kenyataan bahwa transformasi ekonomi tradisional menuju sistem ekonomi modern sedang melanda di berbagai tempat, sejak berkembangnya penjajahan sampai pada masa globalisasi sekarang ini. Resiprositas yang menjadi ciri pertukaran dalam perekonomian tradisional sedang berubah dan berhadapan dengan sistem pertukaran komersial. Sistem pertukaran mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa, kesejahteraan hidup warga masyarakat disamping dipengaruhi oleh sistem produksi yang dipakai juga dipengaruhi pula oleh sistem perkawinan yang berlaku. Beberapa ahli telah mengulas konsep resiprositas dari Polanyi untuk menerangkan fenomena pertukaran dalam masyarakat yang menjadi perhatian mereka (Dalton, 1961;1968; Sahlins,1974; halperin dan Dow,1980). Secara sederhana resiprositas adalah p...

The Other Side of Heaven (Sebuah Resensi Film)

Menjadi seorang yang bisa dihargai dan diterima orang lain, kita harus pandai beradaptasi dengan lingkungan sosial yang ada. Itulah kata ringkas yang saya ambil setelah melihat Film The Other Side of Heaven. Film ini saya copy dari seorang teman yang bernama kerabat Bayu 'Kuro' Mahasiswa Antrop Unair  yang suka koleksi film yang tidak umum.  Film ini diambil dari kisah nyata dari seorang misionaris John H. Groberg yang berasal dari Amerika yang melakukan misi pelayanan firman Tuhan di daerah kepulauan Pasifik Selatan tepatnya di pulau Tonga pada tahun 50-an. Film yang berdurasi 113 menit ini diproduksi oleh Studio Walt Disney dan yang menjadi sutradara adalah Mitch Davis .  Sinopsis Berawal dari panggilan tugas untuk menjadi misionaris yang memberikan pelayanan di daerah Pasifik Selatan tepatnya di Pulau Tonga, John Groberg mendapat restu dari orang tua dan pacarnya, Jean,  akhirnya memutuskan melakukan pelayaran menuju luar Amerika tepatnya di Fiji. Fiji adalah cob...

Manusia dan Kebudayaan di Indonesia karya Prof. Koentjaraningrat

Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan Buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia adalah karya perdana dari para dosen Antropologi generasi pertama tanah air yang dimotori oleh Prof. Koentjaraningrat (Selanjutnya saya sebut dengan Prof Koen). Buku ini adalah karya etnografi yang hampir sebagian besar dihimpun dari data pustaka oleh berbagai macam antropolog masa perkembangan awal di Indonesia. Buku ini adalah representasi kebudayaan Indonesia dengan berbagai kompleksitasnya yang tersebar dari Sabang sampai Maeruke. Berdasarkan keterangan dari Prof.Koen pada bab pembuka yang menyatakan bahwa data yang diambil adalah data pustaka. Saya membaca buku ini merasa seperti bertamasya dalam keragaman dan kompleksitas kebudayaan di Indonesia yang dijelaskan dengan format khusus yang seakan baku. Format khusus yang saya maksud setelah membaca buku ini adalah pada setiap pembagian kebudayaan yang dibahas tampak penjelasan sistematis yang dibakukan m...