"Gajah mati meninggalkan gading, akademisi mati meninggalkan karya tulis"
Antropologi budaya sebagai salah satu ilmu yang penuh kata-kata. Orang lebih akrab menyebut dengan kata kualitatif. Lantas kenapa saya mengambil judul darurat krisis budaya tulis?. Pertimbangannya dari penelusuran di toko buku beberapa waktu lalu yang melihat rak buku untuk antropologi masuk dalam kategori display buku 3 T. Tersedikit, Terpojok, dan Tersepi. Siapa yang salah di sini? Tidak bijak kalau saling menyalahkan. Walau dalam kenyataan lapangan, ada yang mengaku antropolog, akademisi tapi minim karya tulis. Mengutip tulisan Orta Starn dalam buku Writing Culture, terungkap kurang populernya antropologi karena jika menulis, kita kurang tahu bahkan tidak tahu mau atau dari mana. Semacam disorientasi. Jika terjadi yang demikian semakin tidak jelas alur juntrungannya. Mau untuk formalitas semata, atau ingin merubah menjadi bacaan yang dapat dinikmati banyak kalangan. Anne Fadiman berkelakar bahwa jurnalis justru lebih etnografis tulisannya walau tidak semuanya lulusan dari antropologi. Kembali pada rak buku, antropologi berikut buku-bukunya kurang bisa mengikuti kecenderungan umum yang mainstream. Terlebih dalam pusaran pasar buku non fiksi. Ilmu sosial yang lain bisa terdisplay lebih dari satu rak.
Secara khusus postingan ini sebagai pembuka postingan seri dengan tema budaya tulis (writing culture).
"It's still just about impossible to get tenure at a major research university. If you haven't published a book".
Selamat menulis, mari menulis.
![]() |
Menulislah maka kamu ada. |
Komentar
Posting Komentar