Langsung ke konten utama

Relevansi Inisiasi di masa Antrop Kekinian: Sebuah Catatan Pojok Tenda

Pada suatu Jumat di tahun 2003, setelah melewati beragam acara penyambutan. Ya, disambut seperti orang penting. Tapi penyambutannya bukan karangan bunga atau karpet merah. Tapi dengan serangkaian acara. Acara penuh lelah, dari ospek Universitas (bangun pagi, naik sepeda pancal dari Petemon menuju Kampus C Unair untuk acara penyambutan mahasiswa baru), ospek Fakultas (bangun lebih pagi lagi, nginap di kos salah satu panitia, apel pagi-siang-sore, menjadi ketua regu kelompok Gramsi, tugas mencatat warta berita jam 9 malam di TVRI, simulasi demo sampai disemprot mobil tangki air di lapangan barat Fisip), dan ospek jurusan.

Saat itu saya sebagai mahasiswa baru, orang kota baru pula, berpikir akan mengalami proses yang kurang lebih sama ketika mengikuti ospek di fakultas. Bertemu senior gondrong, berbaris di lapangan sampai ada tim khusus yang bergerak kilat nan galak jika ada yang melakukan -ataupun dianggap salah. Timdis namanya. Ini yang lebih pantas disebut sebagai macan kampus sejati, tidak seperti lagu PHB dalam Mahasiswa Rantau yang menyebut mahasiswa yang tidak lulus-lulus sampai 17 tahun. Macan kampus itu yang jadi timdis, sedangkan yang tak lulus-lulus saya lebih nyaman menjulukinya sebagai Kura-kura kampus.

Kembali pada cerita sekilas tentang ospek jurusan. Jumat siang selepas Sholat Jumat itulah kami diminta berkumpul oleh panitia. Memang sebelumnya telah ada acara prainisiasi yang menyebabkan saya sudah kenal beberapa orang, dari teman seangkatan sampai kakak kelas. Dalam prainisiasi kami dikenalkan bagaimana antropologi itu, bagaimana metode mencari sampai menyajikan data ala antropologi. Saya masih ingat saat itu secara berkelompok kami keliling kampus untuk mencari fenomena menarik di sekitar kampus B. Observasi saja boleh, wawancara juga oke, kalau dua-duanya digabung juga lebih baik. Itulah simulasi awal dari kehidupan ngantro yang saya alami, dengan melakukan observasi dan wawancara pada tambal ban sekaligus penjual air isi ulang dalam botol yang beroperasi di dekat bank BTN Kampus B Unair. Saat itu saya sadar kalau tidak mudah untuk bertanya jawab pada orang yang baru saja kita kenal. Walaupun kita telah memasang wajah super sumringah, rasa curiga tetap menjadi penghalang. Sesi refleksi dan presentasi tiba walaupun ragu, tapi apapun yang saya dapatkan sebelumnya selama proses observasi dan wawancara saya jelaskan semua. Karena itulah yang dinamakan dengan data. Saya yakin itulah nanti yang menjadi salah satu menu utama ketika kuliah di antropologi. 
Selamat Datang Kerabat Antrop Unair 2003
Hingga jumat siang itu tiba, datang truk tentara masuk kampus dan kami siap diberangkatkan menuju TKP (Tempat Kejadian Pengkaderan). Saya lebih suka menyebut kader daripada plonco. Kalau kader itu saya maknai ada proses regenerasi dengan sedikit perploncoan. Tapi kalau plonco minim kaderisasi tapi sarat dan rawan untuk diplokotoh. Ngono kiro-kiro rek !. Truk menderu-nderu, meninggalkan kota Surabaya, menuju Trawas seiring matahari yang mulai merendah. Petang itu kami melewati daerah terjal, naik turun dan suasana yang semula ceria, cengengesan di jalan berubah menjadi diam. Apalagi ketika truk diberhentikan di sebuah tanjakan, di kanan jurang dan di kiri batuan yang terjal.
Saya sempat bingung mau diapain dan bertanya dalam hati akankah ini penculikan. Tapi berpikiran negatif itu lebih asyik, saya hanya berpikir, kalau diculik ya rame-rame, kalau diapa-apain nanti saya bisa lari menuju gunung Penanggungan, gunung yang jaman SMA saya lalui secara mingguan, via Tamiajeng-Puncak pp. 
Tak lama setelah itu, kami digiring dalam temaram malam menuju satu tempat yang telah ramai. Satu persatu kami masuk ke dalam satu tempat dengan gerbang yang klintingan, ada sebuah gazebo dengan orang-orang gondrong dan cuawakan. Saya berpikir akan celaka, atau apalah. Semua tertepis oleh rasa optimis. Serangkaian acara, aktivitas dan kegiatan saya lalui. Saya semula berpikir ini semua buat apa? Capek dan hati dongkol. Tapi semua terbayar ketika sabtu sudah berganti minggu pagi, dari suatu tempat yang terdengar aliran air (Petirtaan Candi Jolotundo-Trawas), kami digiring dengan mata tertutup, sampai dikumpulkan dalam suatu barisan dan ajaib. Suasana yang dua pada malam-malam sebelumnya nampak seram menjadi lebih so sweet dan eksotis. Ada jajaran lampu ublik yang disusun. Cahayanya cukup mencerahkan, lebih mencerahkan melihat mimik para senior yang lebih ceria. 
Sayup-sayup terdengar suara bongo dan iringan musik lainnya (Diperankan oleh Pak Bos Rully dkk-red). Walau berasal dari piranti musik yang sederhana, tanpa listrik. Semua bermain dari hati dan tanpa efek atau motif apapun. Tidak lama menikmati sajian suara itu, saya dikejutkan muncul orang-orang (Pandu, Kresna dkk) yang berhamburan menuju lapangan. Liar dan semakin liar, kemudian muncul tokoh gondrong (dukun)-diperankan oleh Pundi-red- yang mengatasi semuanya dan diiringi oleh penari nan gemulai -diperankan oleh Ayu- fokus pertunjukan tertuju pada sebuah gentong di bawah pohon. 
Kami berjalan beriringan menuju sisinya. Hingga giliran saya tiba, dukun melihat nama kardus saya yang bertulis "SAMIN" kemudian berbisik: "Jenengmu sopo?", saya jawab: "Roikan" . Lantas terdengar secara spontan: "Saya terima Roikan sebagai kerabat Antropologi !!!". Sebuah kain merah berlogo antrop Unair terpasang di pundak. Rasa bangga dan haru biru menjadi satu. Mbrebes mili. 

Perjuangan setelah itu baru dimulai, ada banyak tugas dan amanah yang dibebankan dan harus diselesaikan. Dari menjadi korlap pada kepanitiaan inisiasi 2004, menggalang dana kolektif untuk acara inisiasi, menjadi sekjen Hima, seabrek tugas kuliah, sampai membuat skripsi dengan tema dan lapangan yang tidak biasa: Antropologi Kartun. Semua telah terlalui dengan baik, tapi saya sadar dan tahu diri kalau sampai jemari ini bisa lincah menulis, mata ini kuat membaca buku antropologi khususnya dan ketahanan diri di lapangan ketika penelitian berawal dari akhir pekan 'neraka' yang disebut inisiasi. Antropologi Fair 2003 di Bumi Perkemahan Jolotundo - Trawas. Kalau angkatan laut punya pusat pendidikan dan latihan tempur di Surabaya, Grati sampai Banyuwangi, Brimob punya Watu Kosek, Pasukan Kopassus punya Nusakambangan, Tentara perwira Amerika punya Westpoint. Antropologi punya Jolotundo, Cobantalun. Nongko Jajar dan Bumi perkemahan Sendi

Lantas apakah masih relevan inisiasi di masa sekarang?

Saya termasuk orang yang berpandangan kalau inisiasi itu vital dan mutlak di antropologi. Inisiasi mengajarkan pada pengenalan bagaimana kehidupan berantropologi itu. Jika ada yang berpandangan bahwa inisiasi hanya untuk ajang balas dendam, gaya-gayaan, tepe-tepe, bahkan untuk promosi sesuatu yang bukan pada tempatnya, maka saya akan berkata: "wong koyo ngono gak niat inisiasi, gak paham maknane inisiasi" (orang seperti itu tidak niat ikut inisiasi dan tidak paham makna dari inisiasi itu sendiri-red). Renungan semacam itu tidak bisa didapat dengan merenung sendiri, tapi atas diskusi dengan pihak yang mumpuni. Ketika tinggal di SC Antro dan menjadi panitia saya pernah terlibat diskusi dengan kakak kelas dan alumni tentang inisiasi. Dari forum itu pulalah saya menjadi tahu bahwa segala yang dilakukan selama menjalani inisiasi dari jumat sampai minggu pagi itu adalah proses. Rangkaian proses yang bermakna. Mempunyai dasar untuk perkembangan kita sendiri ketika berada di lapangan, tempat baru dan bertemu dengan orang asing. Dasar kekuatan saat kita didesak oleh berbagai permasalahan termasuk pula deadline laporan penelitian. Karena saya sendiri juga punya pedoman bahwa antropologi itu belajar manusia (fisik, budaya dan kaitannya) dan observasi partisipasi. Tidak hanya melulu belajar tapi bagaimana pemahaman yang kuat kita pada kebudayaan. 
Inisiasi berkaitan pula dengan proses pembelajaran budaya (the cultural processes). Proses ini tidak hanya melulu pada enkulturasi atau pembudayaan semata. Tapi ada empat proses belajar. Mengutip dari Catherine Hasse dalam buku: An Anthropology of Larning, on nested frictions in Cultural Ecology (Springer, 2015) bahwa empat proses dalam pembelajaran terdiri dari :

1. Learning through social designations (reactions) 
2. Learning practice based
3. Learning through suprising culture contrasts
4. Learning is scalar-more or less collectively aligned mattering matter nested in cultural-historical activities. 

Keempat proses ini memberikan dampak bagi mahasiswa antropologi sendiri, disamping juga pada keilmuan antropologi sendiri. Jadi itulah pandangan saya tentang inisiasi. Jika ada yang membaca tulisan ini dan merasa beda pandangan. Itu semua tergantung pada anda sendiri. Nek Aku Seneng Inisiasi Koen Kate Lapo. 


Komentar

  1. Inisiasi / KKA adalah miniatur dari kehidupan sosial. Desain sebuah masyarakat multi-kultural dapat kita temui dalam ritual inisiasi. Dengan tingkat kesulitan yang relatif fleksibel, diharapkan para inisian (mahasiswa baru jurisan Antropopogi) akan senantiasa bermetamorfosa menjadi pribadi-pribadi yang adaptif, kreatif dan dinamis.

    BalasHapus
  2. Betul Mas Yok...ada beragam makna untuk semua prosesi termasuk inisiasi. Hari ini diharapkan mencetak para inisian yang inovatif dan mempunyai tingkat kompetensi yang tinggi. Semoga itu menjadi asuransi untuk ilmu pengetahuan di masa depan :)

    BalasHapus
  3. kulo nggeh setuju dengan inisiasi pak roikan...
    learning how to understand new people and their culture,
    that is how i see antropologi and inisiasi..
    Semoga inisiasi tidak dipandang sebelah mata..

    BalasHapus
    Balasan
    1. sebenarnya yang diproses lebih matang justru panitianya kan bro....hehehe...ingat saat kita di lembah kera, mulai persiapan-ada hujan lebat sampai selesai. :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI RESIPROSITAS

Dewasa ini banyak ahli antropologi ekonomi yang menaruh perhatian terhadap gejala pertukaran yang menggunakan uang. Perhatian seperti ini sangat penting sejalan dengan kenyataan bahwa transformasi ekonomi tradisional menuju sistem ekonomi modern sedang melanda di berbagai tempat, sejak berkembangnya penjajahan sampai pada masa globalisasi sekarang ini. Resiprositas yang menjadi ciri pertukaran dalam perekonomian tradisional sedang berubah dan berhadapan dengan sistem pertukaran komersial. Sistem pertukaran mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa, kesejahteraan hidup warga masyarakat disamping dipengaruhi oleh sistem produksi yang dipakai juga dipengaruhi pula oleh sistem perkawinan yang berlaku. Beberapa ahli telah mengulas konsep resiprositas dari Polanyi untuk menerangkan fenomena pertukaran dalam masyarakat yang menjadi perhatian mereka (Dalton, 1961;1968; Sahlins,1974; halperin dan Dow,1980). Secara sederhana resiprositas adalah p...

The Other Side of Heaven (Sebuah Resensi Film)

Menjadi seorang yang bisa dihargai dan diterima orang lain, kita harus pandai beradaptasi dengan lingkungan sosial yang ada. Itulah kata ringkas yang saya ambil setelah melihat Film The Other Side of Heaven. Film ini saya copy dari seorang teman yang bernama kerabat Bayu 'Kuro' Mahasiswa Antrop Unair  yang suka koleksi film yang tidak umum.  Film ini diambil dari kisah nyata dari seorang misionaris John H. Groberg yang berasal dari Amerika yang melakukan misi pelayanan firman Tuhan di daerah kepulauan Pasifik Selatan tepatnya di pulau Tonga pada tahun 50-an. Film yang berdurasi 113 menit ini diproduksi oleh Studio Walt Disney dan yang menjadi sutradara adalah Mitch Davis .  Sinopsis Berawal dari panggilan tugas untuk menjadi misionaris yang memberikan pelayanan di daerah Pasifik Selatan tepatnya di Pulau Tonga, John Groberg mendapat restu dari orang tua dan pacarnya, Jean,  akhirnya memutuskan melakukan pelayaran menuju luar Amerika tepatnya di Fiji. Fiji adalah cob...

Manusia dan Kebudayaan di Indonesia karya Prof. Koentjaraningrat

Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan Buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia adalah karya perdana dari para dosen Antropologi generasi pertama tanah air yang dimotori oleh Prof. Koentjaraningrat (Selanjutnya saya sebut dengan Prof Koen). Buku ini adalah karya etnografi yang hampir sebagian besar dihimpun dari data pustaka oleh berbagai macam antropolog masa perkembangan awal di Indonesia. Buku ini adalah representasi kebudayaan Indonesia dengan berbagai kompleksitasnya yang tersebar dari Sabang sampai Maeruke. Berdasarkan keterangan dari Prof.Koen pada bab pembuka yang menyatakan bahwa data yang diambil adalah data pustaka. Saya membaca buku ini merasa seperti bertamasya dalam keragaman dan kompleksitas kebudayaan di Indonesia yang dijelaskan dengan format khusus yang seakan baku. Format khusus yang saya maksud setelah membaca buku ini adalah pada setiap pembagian kebudayaan yang dibahas tampak penjelasan sistematis yang dibakukan m...