Langsung ke konten utama

Antropologi Naik Gunung: Cerita Palaga Unair

 "Pokok seneng cangkruk, gondrong, cekakakan ngopi iku arek antro"

Demikian stereotyping, pandangan orang luar bahkan kawan se-FISIP sendiri kala itu. Dunia kampus yang dinamis menyajikan beragam karakter dan jenis mahasiswa Surabaya. Terlebih di FISIP UNAIR, saya teringat pada awal masuk perkuliahan, ada mahasiswa yang dapat ditebak dari gaya dandan. Hari ini dinamakan outfil. Chasing anak antrop dan politik dapat dilihat dari mahasiswa cowoknya. Tanpa janjian tapi seperti seragam. 

Kerabat road to Rinjani 

Kuliah-Cangkruk-PKL-Kuliah-SC-Cangkruk. Menjadi ritual umum mahasiswa antropologi. Tapi siapa sangka dibalik kegiatan yang sering bertemu dengan banyak orang tersebut ada kegiatan lain yang tidak bisa dilakukan: Mendaki Gunung. Itulah kenapa saat proses inisiasi di Bumi Perkemahan Jolotundo ketika menjadi peserta. Dalam temaram padang bulan di Bulan September itu saya melihat dengan sedikit terbengong puncak Pawitra Gunung Penanggungan yang terlihat eksotis. 

"Pernah naik gunung itu to le?" kata seorang senior 

"Iya Mas..Dulu jaman SMA sering banget naik puncak Penanggungan" jawab saya sambil melihat 'pasar malam' baru di hamparan lahan tebu yang selesai di panen. 

"Wah cocok..di sini banyak mahasiswa yang suka naik gunung..ada kelompok Pecinta Alam Gaib atau disingkat PALAGA" Jawab kembali senior itu sambil membetulkan lampu ting ublik yang apinya mulai membesar. 

Antropologi Aman Bebas

Begitu menjadi kerabat resmi dan dapat akses cangkruk bersama para kerabat. Tersadarlah jika anak antro sebetulnya suka kegiatan alam bebas termasuk pendakian gunung. Sebuah foto monumental sekelompok mahasiswa bersama menenteng tas besar dengan latar belakang danau legendaris impian para pendaki: Danau Segara Anak. Cocoklah masuk jurusan ini. Impian kluyuran dapat tersalurkan. Tidak hanya kuliah lapangan tapi naik gunung juga. 

Antropologi Argopuro 

Masih tercatat dalam ingatan nama-nama kerabat yang suka naik gunung: Mas Aji (bermimpi bersana susur sungai Brantas dengan getek bambu), Bom Box, Mas Andik Jombang (sempat bertemu adiknya di Danau Taman Hidup ketika naik Gunung Argopuro), Kuro, Topan, Lek Bowo, Ovie Cilik, Mas Yok, Mas Mail, Coco, Pak Bos, Brodin (sempat saya ragukan naik Argopuro karena tidak ada bukti foto) dan Mbois (kerabat berkaos semen Gresik sebagai seragam khas pendakian). Sebenarnya masih ada kerabat lain yang suka kegiatan mbrasak alas. Pernah suatu ketika BEM FISIP mengadakan pendakian bersama ke Puncak Pawitra Gunung Penanggungan. Saya ikut berada di garda depan dengan membawa papan peringatan untuk menjaga lingkungan. Tak disangka saat itu banyak anak antrop yang ikut. 

Kerabat Milenial dan Puncak Argopuro

Naik gunung dan pendaki menjadi hal yang dapat ditemui pada sebuah komunitas. Dari lingkungan kampus sampai lingkungan kerja. Ternyata sampai hari ini, kebiasaan ini tetap lestari. Sebuah kiriman foto dari salah satu panitia antro camp. Foto sekelompok pemuda harapan bangsa kebanggaan orang tua yang merayakan pencapaian membentang bendera kebesaran di puncak Argo, Gunung Argopuro. Usut punya usut ini pendakian gabungan lintas angkatan. Dari kerabat 2006,2009,2010,2014, dan 2015. Semoga Pecinta Alam Gaib (PALAGA) selalu bisa berlaga secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Semakin berkurang kuliah lapangan bisa dilampiaskan dengan banyak mendaki gunung. Salam Lestari. 

Bonus Track: 

Kahima dan Sekjen
 (Basecamp Baderan Argopuro 2008)


Komentar

  1. Gasss Gasss Gassskaannnn...
    Smg ada jodoh ke Argopuro
    (Alam Gunung memanggilmu kawan..)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI RESIPROSITAS

Dewasa ini banyak ahli antropologi ekonomi yang menaruh perhatian terhadap gejala pertukaran yang menggunakan uang. Perhatian seperti ini sangat penting sejalan dengan kenyataan bahwa transformasi ekonomi tradisional menuju sistem ekonomi modern sedang melanda di berbagai tempat, sejak berkembangnya penjajahan sampai pada masa globalisasi sekarang ini. Resiprositas yang menjadi ciri pertukaran dalam perekonomian tradisional sedang berubah dan berhadapan dengan sistem pertukaran komersial. Sistem pertukaran mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa, kesejahteraan hidup warga masyarakat disamping dipengaruhi oleh sistem produksi yang dipakai juga dipengaruhi pula oleh sistem perkawinan yang berlaku. Beberapa ahli telah mengulas konsep resiprositas dari Polanyi untuk menerangkan fenomena pertukaran dalam masyarakat yang menjadi perhatian mereka (Dalton, 1961;1968; Sahlins,1974; halperin dan Dow,1980). Secara sederhana resiprositas adalah p...

The Other Side of Heaven (Sebuah Resensi Film)

Menjadi seorang yang bisa dihargai dan diterima orang lain, kita harus pandai beradaptasi dengan lingkungan sosial yang ada. Itulah kata ringkas yang saya ambil setelah melihat Film The Other Side of Heaven. Film ini saya copy dari seorang teman yang bernama kerabat Bayu 'Kuro' Mahasiswa Antrop Unair  yang suka koleksi film yang tidak umum.  Film ini diambil dari kisah nyata dari seorang misionaris John H. Groberg yang berasal dari Amerika yang melakukan misi pelayanan firman Tuhan di daerah kepulauan Pasifik Selatan tepatnya di pulau Tonga pada tahun 50-an. Film yang berdurasi 113 menit ini diproduksi oleh Studio Walt Disney dan yang menjadi sutradara adalah Mitch Davis .  Sinopsis Berawal dari panggilan tugas untuk menjadi misionaris yang memberikan pelayanan di daerah Pasifik Selatan tepatnya di Pulau Tonga, John Groberg mendapat restu dari orang tua dan pacarnya, Jean,  akhirnya memutuskan melakukan pelayaran menuju luar Amerika tepatnya di Fiji. Fiji adalah cob...

Manusia dan Kebudayaan di Indonesia karya Prof. Koentjaraningrat

Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan Buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia adalah karya perdana dari para dosen Antropologi generasi pertama tanah air yang dimotori oleh Prof. Koentjaraningrat (Selanjutnya saya sebut dengan Prof Koen). Buku ini adalah karya etnografi yang hampir sebagian besar dihimpun dari data pustaka oleh berbagai macam antropolog masa perkembangan awal di Indonesia. Buku ini adalah representasi kebudayaan Indonesia dengan berbagai kompleksitasnya yang tersebar dari Sabang sampai Maeruke. Berdasarkan keterangan dari Prof.Koen pada bab pembuka yang menyatakan bahwa data yang diambil adalah data pustaka. Saya membaca buku ini merasa seperti bertamasya dalam keragaman dan kompleksitas kebudayaan di Indonesia yang dijelaskan dengan format khusus yang seakan baku. Format khusus yang saya maksud setelah membaca buku ini adalah pada setiap pembagian kebudayaan yang dibahas tampak penjelasan sistematis yang dibakukan m...