Langsung ke konten utama

Dari Humaniora ke Rekayasa Sosial: Sisi Antropologis Hari Ini dari Mas Prof Pudjo

"Kunci sukses lancar kuliah adalah keterbukaan berpikir..bebaskan pikiran untuk bisa maju"  Prof. Wening 

"Merdeka berpikir, semua informasi kita resapi renungkan dan membacalah yang banyak...nek gelem moco Insya Allah jembar swarga-Mu" Prof. Pudjo 


Dua pesan untuk mahasiswa baru dalam Kuliah Perdana 2021 di era pandemi diadakan oleh Fakultas Ilmu Budaya Bersama: Prof. Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, M.A. dan Prof. Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA. Dua guru besar sekaligus garda depan dinamika intelektual di Bulak Sumur. 

Moco le moco ...Jadilah Pembaca agar Hidup tak Sepi 

Ada kerinduan tersendiri dengan Jogja. Dan dengan kuliah umum daring ini bisa merasakan kembali suasana akademik di bawah pohon rambutan dekat Kandang Antrop. Dalam pemaparannya Prof Wening mengupas tentang teknologi dan perubahan kehidupan. Bagaimana ilmu humaniora menjadi kritik atas hegemoni teknologi. Hari ini generasi mahasiswa baru disebut mahasiswa yang akrab dengan teknologi digital sejak dini. Ada digital native, digital nomad  dan digital monk. Efek kehidupan daring yang tidak bisa lepas dari ponsel menjadikan tangan jempol kita lebih cepat bekerja daripada otak kita. Walau menjanjikan namun bisnis daring lebih mementingkan keuntungan bahkan cenderung mengesampingkan aspek nilai dan moral. Manusia sebagai subyek atas era digitalisasi. Lalu bagaimana kiprah akademik khususnya ilmu sosial humaniora. Humaniora berpihak kepada kaum marginal sebagai kontribusi terbesarnya. Bagaimana mensentralkan yang feriferi?

Pemikiran dan proses sampai akses kesadaran itu humaniora

Pemaparan kedua disampaian oleh Mas Prof Pudjo (demikianlah dari Pak Dekan ketika saya S2 dengan penampilannya yang unik, merakyat dan setiap cangkruk dengan mahasiswa sudah seperti kelas kuliah. Tahun ini mendapatkan predikat menjadi Guru Besar dan beliau masih suka dipanggil Mas karena gelar mProfesor adalah masalah pangkat). Menurut Mas Prof Pudjo masuk FIB UGM itu sulit dan keluar lebih sulit lagi..itulah kerasnya dunia intelektual hari ini. Rekayasa sosial tidak boleh salah arah agar tidak kehabisan energi. Rekayasa sosial humaniora – Willem Dilte (apa itu humaniora?) Ilmu alam dan ilmu humaniora (ilmu yang memperlajari gagasan manusia). Manusia adalah subyek orde moral (pikiran). Cogito ergo sum kata Descartes. Arah ilmu humaniora pada masalah gagasan. 

Simak Tuntas Kuliah Perdana Duo Prof  (Dari Humaniora ke Rekayasa Sosial: Tinjauan Kritis atas Krisis Ilmu-Ilmu Kemanusiaan di Abad Digital)

Bagaimana manusia menjadi manusia? 

Weber mengatakan bahwa manusia sebagai orde moral merupakan makhluk yang mengembangkan kode-kode simbolik. Manusia adalah binatang yang terjerat oleh jaring-jaring pemaknaan yang dia pintal sendiri. Obyek material selama kuliah di Ilmu Budaya adalah ngotak ngatik simbol. Simbol itu sesuatu yang hadir untuk mewakili sesuatu hal. Contoh: kata. Ilmu budaya mempelajari elemen yang paling mendasar dari kehidupan manusia. Manusia dapat mengembangkan kata menjadi struktur kalimat sampai menjadi makna baru dan itulah pondasi kebudayaan manusia. Semua bentuk rekayasa sosial perlu syarat dasar yaitu pengetahuan dasar tentang manusia. Kenali dulu pikirannya baru lakukan rekayasa sosial. Kebudayaan itu bisa direkayasa? Kebudayaan punya dinamika sendiri dan manusia yang mengikutinya. Manusia diubah oleh budaya. Itu seperti kata Leslie White. Metode tipologi dari Roland Barthes (membayangkan kata-kata sebagai ilmu untuk untuk menjelajahi ‘jaring-jaring’). Metode mencari jejak. Bukan mencari sebab akibat. Tapi mencari mana yang lebih awal dan mana yang lebih baru. 

Para antropolog bertugas menulis, dengan etnografinya keberadaan kaum-kaum yang selama  ini tidak kita temui. Peladang liar, PKL, nelayan, PSK kelas teri. Mereka bukan berarti orang lain tapi bagian dari kita. Melalui ilmu humaniora berjuang melawan pemikiran yang ada bagian anak bangsa yang terhempas dan terputus. Lewat tulisan adalah ujung tombak Fakultas Ilmu Budaya, tulisan adalah basis intelektual. 

Riset di Masa Pandemi 

Observasi partisipasi penting dalam konteks keilmuan masa kini. Karena bertemu dengan orang langsung dapat memunculkan kesadaran dan pemahaman yang lebih. Pendemi bersifat temporer. Penelitian media melalui semiotika sebagai produksi teks yang harus dihadapkan pada teks-teks yang lain. Ada multimodalitas yang beraneka ragam dan dapat memperkaya penelitian. Yang penting adalah perspektif kita, bahwa kebudayaan itu bersifat relatif. 

Pandemi membuat repot dalam penelitian khususnya para antropolog. Kondisi sekarang tidak memungkinkan. Alternatifnya seperti apa? ada mahasiswa yang pinter riset tinggal di kampung halaman. Sejak maret 2020 sampai sekarang ada data etnografi 600 halaman. Menggunakan 'satelit', termasuk dalam riset tandem. Era pandemi mendigitalkan jenis arsip secara daring. Internet dibutuhkan dan menguntungkan sampai hari ini. Terlebih pada masa pandemi. Hari ini antropolog mempunyai kesempatan untuk belajar historis etnografi. Semoga pandemi segera berlalu biar bisa melihat geliat diskusi akademik di bawah pohon kembali dengan taman yang sekarang makin menghijau karena hampir setahun tidak tersentuh manusia kecuali Pak Bon fakultas. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI RESIPROSITAS

Dewasa ini banyak ahli antropologi ekonomi yang menaruh perhatian terhadap gejala pertukaran yang menggunakan uang. Perhatian seperti ini sangat penting sejalan dengan kenyataan bahwa transformasi ekonomi tradisional menuju sistem ekonomi modern sedang melanda di berbagai tempat, sejak berkembangnya penjajahan sampai pada masa globalisasi sekarang ini. Resiprositas yang menjadi ciri pertukaran dalam perekonomian tradisional sedang berubah dan berhadapan dengan sistem pertukaran komersial. Sistem pertukaran mempunyai peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap barang dan jasa, kesejahteraan hidup warga masyarakat disamping dipengaruhi oleh sistem produksi yang dipakai juga dipengaruhi pula oleh sistem perkawinan yang berlaku. Beberapa ahli telah mengulas konsep resiprositas dari Polanyi untuk menerangkan fenomena pertukaran dalam masyarakat yang menjadi perhatian mereka (Dalton, 1961;1968; Sahlins,1974; halperin dan Dow,1980). Secara sederhana resiprositas adalah p...

The Other Side of Heaven (Sebuah Resensi Film)

Menjadi seorang yang bisa dihargai dan diterima orang lain, kita harus pandai beradaptasi dengan lingkungan sosial yang ada. Itulah kata ringkas yang saya ambil setelah melihat Film The Other Side of Heaven. Film ini saya copy dari seorang teman yang bernama kerabat Bayu 'Kuro' Mahasiswa Antrop Unair  yang suka koleksi film yang tidak umum.  Film ini diambil dari kisah nyata dari seorang misionaris John H. Groberg yang berasal dari Amerika yang melakukan misi pelayanan firman Tuhan di daerah kepulauan Pasifik Selatan tepatnya di pulau Tonga pada tahun 50-an. Film yang berdurasi 113 menit ini diproduksi oleh Studio Walt Disney dan yang menjadi sutradara adalah Mitch Davis .  Sinopsis Berawal dari panggilan tugas untuk menjadi misionaris yang memberikan pelayanan di daerah Pasifik Selatan tepatnya di Pulau Tonga, John Groberg mendapat restu dari orang tua dan pacarnya, Jean,  akhirnya memutuskan melakukan pelayaran menuju luar Amerika tepatnya di Fiji. Fiji adalah cob...

Manusia dan Kebudayaan di Indonesia karya Prof. Koentjaraningrat

Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan Buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia adalah karya perdana dari para dosen Antropologi generasi pertama tanah air yang dimotori oleh Prof. Koentjaraningrat (Selanjutnya saya sebut dengan Prof Koen). Buku ini adalah karya etnografi yang hampir sebagian besar dihimpun dari data pustaka oleh berbagai macam antropolog masa perkembangan awal di Indonesia. Buku ini adalah representasi kebudayaan Indonesia dengan berbagai kompleksitasnya yang tersebar dari Sabang sampai Maeruke. Berdasarkan keterangan dari Prof.Koen pada bab pembuka yang menyatakan bahwa data yang diambil adalah data pustaka. Saya membaca buku ini merasa seperti bertamasya dalam keragaman dan kompleksitas kebudayaan di Indonesia yang dijelaskan dengan format khusus yang seakan baku. Format khusus yang saya maksud setelah membaca buku ini adalah pada setiap pembagian kebudayaan yang dibahas tampak penjelasan sistematis yang dibakukan m...